Muara Kilis (Gomediaku.com) – Sungguh mengejutkan bahwa ditengah desakan berbagai pihak kepada Asian Pulp and Paper-APP/Sinarmas Forestry untuk menghentikan upaya menjadikan areal izin perhutanan sosial yakni Hutan Kemasyarakatan (HKm) Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktanhut) Muara Kilis Bersatu, Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo Provinsi Jambi, sebagai mitra melalui skema one time supplier untuk memanfaatkan tanaman akasia seluas 149 Ha di areal HKm Gapoktanhut Muara Kilis Bersatu, ternyata APP justru melakukan tindakan sebaliknya. Hasil investigasi AILInts menemukan, bahwa APP melalui unit manajemennya yakni PT.Wira Karya Sakti (PT.WKS) ternyata sejak 30 Mei 2021 telah melakukan pembukaan lahan (land clearing) untuk memanen akasia di blok seluas 149 hektar pada areal HKm Gapoktanhut Muara Kilis Bersatu. Setelah dilakukan analisis citra per tanggal 29 Juni 2021, pembukaan lahan telah mencapai luasan sekitar 21,5 Hektar. Hal ini pun terkonfirmasi melalui ground truth yang dilakukan tim dan kontak AILInts di lapangan.
Hancurnya Habitat Gajah
Tindakan APP sangat disayangkan. Betapa tidak, areal HKm Gapoktanhut Muara Kilis Bersatu sendiri merupakan ruang hidup (habitat) dan jalur perlintasan bagi satwa kunci terancam punah yakni Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Lanskap Bukit Tigapuluh yang kondisinya saat ini terus terancam akibat konversi hutan alam untuk kepentingan ekspansi HTI, perkebunan skala besar, pembalakan liar. Meski blok akasia seluas 149 hektar yang dipanen oleh APP berada di zona pemanfaatan izin HKm Gapoktanhut Muara Kilis Bersatu, tak bisa dipungkiri jika areal tersebut merupakan ruang hidup dan jalur pergerakan gajah. Letak areal izin HKm Gapoktanhut Muara Kilis Bersatu yang merupakan penyangga penting bagi Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) membuat satwa-satwa yang hidup di wilayah konservasi ini melintasi areal izin HKm Gapoktanhut Muara Kilis Bersatu. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati yang menyebutkan bahwa kantong habitat gajah saat ini banyak ditemukan di luar kawasan konservasi (Rencana Tindakan Mendesak Penyelamatan Populasi Gajah Sumatera 2020-2023, Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Dirtjen KSDAE, KLHK RI, 2020). Data Frankfurt Zoological Society (FZS), mencatat, sejak tahun 2017 s.d 2020 intensitas kehadiran gajah sumatera di areal HKm Gapoktan Muara Kilis Bersatu terus meningkat bahkan di lokasi blok akasia seluas 149 Hektar di areal HKm Gapoktanhut Muara Kilis Bersatu yang saat ini telah diluluhlantakkan oleh pihak APP. Pada tahun 2019, satu ekor gajah bahkan ditemukan mati di wilayah ini yang terindikasi terjadi di lokasi areal HKm Gapoktan Muara Kilis Bersatu. Berdasarkan informasi yang dihimpun AILInts di lapangan, sekitar bulan April 2021, kawanan gajah yang bergerak dari areal HKm Muara Kilis Bersatu bahkan telah merangsek ke salah satu pemukiman penduduk di wilayah Dusun Wono Rejo, Desa Muara Kilis pada titik kordinat -1.328700, 102.656090 yang lokasinya sangat berdekatan dengan lokasi pembukaan lahan yang dilakukan APP di areal HKm Gapoktanhut Muara Kilis Bersatu.
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) sendiri merupakan satwa terancam punah dan terdaftar dalam IUCN Red List dengan status Critically endangered dan termasuk satwa dengan status Appendices I dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Pada tahun 1980-an, populasi gajah sumatera diperkirakan masih sekitar 2.800 – 4.800 individu. Namun pada tahun 2007, terjadi penurunan populasi gajah sekitar 50% dalam satu generasi menjadi sekitar 2.400 – 2.800 individu. Penurunan populasi gajah sumatera terus beranjut. Tahun 2017, populasi gajah sumatera saat ini diperkirakan hanya terdapat 1.694-2.038 individu yang tersebar di 7 provinsi dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung dan berada di dalam 36 kantong habitat (Rencana Tindakan Mendesak Penyelamatan Populasi Gajah Sumatera 2020-2023, Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Dirtjen KSDAE, KLHK RI, 2020). Di Landskap Bukit Tigapuluh sendiri yang merupakan kantung gajah terbesar di Sumatera diperkirakan populasi gajah hanya terdapat kurang lebih 143 ekor.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab keterancaman gajah sumatera adalah hilangnya kawasan hutan yang menjadi habitatnya. Kehilangan habitat ini terjadi karena aktiftas perambahan hutan, pengalihan fungsi hutan menjadi areal perkebunan monokultur. Sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan dan fragmentasi terhadap kawasan hutan yang dapat memutus daya jelajah (Home range), terganggunya siklus rantai makanan, hilangnya sumber pakan, naungan kanopi yang akan memicu terjadinya perubahan siklus ekologi hutan dan mengakibatkan ruang gerak gajah terbatas di dalam kawasan hutan. Perubahan ekologis ini akan berakibat terbatasnya ruang gerak dan jelajah Gajah Sumatera sehingga untuk memenuhi kebutuhan makan, gajah masuk ke pemukiman dan lahan perkebunan masyarakat. Situasi ini akan berpotensi semakin memicu terjadinya konflik antara satwa liar dan manusia di landskap Bukit Tigapuluh yang akan menimbulkan kerugian baik terhadap manusia maupun satwa. Pada tahun 2018 saja, BKSDA mencatat ada 188 konflik manusia dan satwa gajah di landskap Bukit Tiga Puluh. (Rilis)